Kolom

Menurunnya Kepercayaan Gen Z Terhadap Partai Politik yang berdampak pada Pemilu 2024

Mei 22, 2024
Beranda
Kolom
Menurunnya Kepercayaan Gen Z Terhadap Partai Politik yang berdampak pada Pemilu 2024
M. Fathurrahman Tsabit
Foto: M. Fathurrahman Tsabit

Ngajihukum.com
-  Perlu diketahui terhitung dari tahun 2019-sekarang kurang adanya peran partai sebagai oposisi pemerintah yang menjadi penyerap dan penyalur suara rakyat sehingga terkesan partai-partai terbungkam oleh pembagian jabatan di kementrian. "Padahal apabila partai berperan sebagaimana fungsinya kemudian turun ke bawah dan mengajak masyarakat untuk berjuang bersama, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap partai itu sendiri terutama golongan anak muda sekarang atau disebut dengan gen Z"

Beberapa tahun ke belakang di era presiden SBY masih ada beberapa partai yang melakukan aksi untuk menuntut penurunan harga BBM. Namun sekarang itu tidak pernah terdengar kembali partai yang melakukan aksi jalanan mengajak kepada seluruh elemen masyarakat. Di tahun 2019 gerakan mahasiswa memperjuangkan untuk penurunan BBM, penolakan RUU KPK, dan Pengesahan RUU TPKS ( Tindak Pidana Kekerasan Seksual ) dan itu hanya 1 tuntutan yang di sah kan dari 3 tuntutan yang diajukan. Di tahun 2020 gerakan kembali bergulir terkait penolakan RUU OMNIBUS LAW namun lagi-lagi peran dari partai itu sendiri tidak ada sama sekali mereka hanya berjuang di parlemen tanpa turun langsung kepada masyarakat mendengarkan apa yang sebetulnya yang menjadi keresahan masyarakat. Di tahun 2023 hanya satu partai baru yang melakukan aksi secara langsung untuk menggugat kembali terkait omnibus law. Hal ini salah satu turunnya kepercayan masyarakat terhadap partai sehingga berdampak ke pemilu 2024 yang akan diselenggarakan februari nanti terutama dikalangan pemuda atau gen Z.
"Partai politik bukan hanya soal mensosialisasikan ideologi yang dibangun oleh partai itu sendiri, tapi ada fungsi lain yakni menghimpun, menyerap dan penyalur kepentingan masyarakat dalam merumuskan kebijakan negara".

Trias politika yang tumpang tindih

Di indonesia sendiri menggunakan sistem trias politika yakni yang memiliki bada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuan utamanya agar pemerintahan berjalan dengan stabil check and ballance. Setiap lembaga memiliki peran dan fungsinya masing-masing. hari ini bisa dilihat bahwa check and ballance tidak benar-benar terjadi sebab dirasa ada ketimpangan dalam penyelenggaraan negara tersebut. Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa legislatif memiliki kewenangan untuk membuat suatu aturan, eksekutif memiliki kewenangan memaksakan aturan yang telah di sah kan dan yudikatif sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menguji UU terhadap UUD 1945.

Dalam beberapa kasus hukum yang sudah terjadi di Indonesia, banyak sekali gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk pengujian Undang-Undang (judicial review).  Salah satu kasusnya yakni UU OMNIBUS LAW yang didalamnya mengandung unsur UU CIPTAKER dan di sah kan oleh DPR digugat dan diujikan sehingga MK memutus UU OMNIBUS LAW ditangguhkan dengan waktu selama 3 tahun. Akan tetapi badan legislatif tetap menge-sah-kan  PERPPU no. 2 tahun 2022. Secara normatif hal itu tidak bisa diselenggarakan sebab UU CIPTAKER termasuk dalam buntalan UU omnibus law yang mana UU omnibus law masih ditangguhkan dan harus diperbaiki secara menyeluruh dalam jangka waktu 3 tahun. Tindakan tersebut sangat menciderai konstitusi. Dilanjut dengan kasus judicial review UU pemilu tentang batas umur capres dan cawapres yang dikabulkan oleh MK pada tanggal 16 oktober 2023 begitu sangat mengejutkan seluruh warga indonesia. Dampaknya putusan tersebut dinilai sangat kontroversial yang sebelumnya MK menolak gugatan yang diajukan oleh PSI akan tetapi mengabulkan gugatan yang diajukan oleh mahasiswa UNS dengan perkara yang sama akan tetapi dibedakan oleh frasa gugatan yang diajukan oleh mahasiswa UNS. Secara konstitusi sebetulnya MK tidak berhak mengatur batas umur capres dan cawapres dalam undang-undang. Karena perihal undang-undanh hanya bisa dibuat oleh badan legislatif. Hal ini jelas sekali bahwa MK telah menciderai norma hukum yang berlaku di indonesia begitupun ada ketimpangan dalam penerapan trias politika.

Dari beberapa kasus diatas menimbulkan katidakpercayaan dan membuat masyarakat apatis dan skeptis terhadap politik. Besar kemungkinan minat masyarakat terutama gen Z semakin malas dan pasif menanggapi perpolitikan di Indonesia negara yang kami cintai ini.

Ditulis oleh :  M. Fathurrahman Tsabit, mahasiswa iain syekh nurjati cirebon, anggota PAO Asosiasi Hukum Tata Negara se-Indonesia