Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana setiap rakyat dalam
suatu negara memiliki hak yang sama untuk dapat mengubah taraf hidup yang lebih
baik. Hal tersebut sejalan sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Abraham
Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang
diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pada dasarnya, demokrasi bukan hanya dimaknai dengan peristiwa pesta
demokrasi (pemilu) saja, tetapi juga harus dijalankan dalam bernegara demi dan
guna kepentingan seluruh warga negara. Apa yang diidealkan oleh kepentingan rakyat
pada umumnya mengenai perbaikan kualitas hidup harus bisa terwujud melalui
sebuah sistem negara yang demokratis.
Dalam perjalananya, sistem demokrasi Indonesia telah banyak melalui
berbagai macam transisi. Seperti demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,
demokrasi pancasila, hingga yang terbaru demokrasi reformasi. Hingga saat ini
Indonesia masih berusaha untuk mewujudkan negara demokratis. Meskipun pada
realitasnya demokrasi sering kali berbenturan dengan kepentingan politik
sehingga membuat demokrasi semakin kehilangan tujuannya yaitu mewujudkan
kedaulatan rakyat.
Kepentingan politik setiap rezim mampu mengubah alam demokrasi bangsa
semakin mengalami kemunduran secara drastis. Pemerintah Indonesia mungkin hinga
saat ini masih ngotot menyatakan bahwa Indonesia memegang teguh prinsip-prinsip
demokrasi dalam menjalankan negara. Namun demokrasi yang dijalankan tersebut
faktanya tidak pernah menghasilkan apa-apa. Demokrasi yang seharusnya dapat
mencangkup kesejahteraan rakyat kini hanya sebatas menjadi demokrasi yang
elektoral.
Di kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode ini terdapat berbagai
persoalan yang serius terhadap alam demokrasi bangsa. Menjelang berakhirnya
masa jabatan seorang Jokowi nampak telah dipertontonkan secara nyata jalan
berliku demokrasi bangsa yang secara terus menerus mengalami kemunduran.
Segudang Persoalan Demokrasi
Perjalanan wajah
demokrasi bangsa saat ini mulai nampak kehilangan arahnya. Pasca Jokowi secara resmi
menjabat untuk kedua kalinya sebagai presiden Republik Indonesia pada 2019 lalu
segudang persoalan terhadap wajah demokrasi terus bermunculan, diantaranya
ialah :
Pertama, dibawah kepemimpinan Jokowi aparat keamanan seolah-olah menjelma sebagai
algojo yang dengan bangga melakukan tindakan represif dan kekerasan terhadap
sejumlah mahasiswa atau para demonstran dalam melakukan demonstrasi. Penangkapan
sejumlah aktivis diberbagai daerah hingga kematian dua mahasiswa asal Kendari
oleh aparat kepolisian menjadi bukti sikap pemerintah yang tidak secara serius
mewujudkan negara demokrasi. Bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk
memberikan sanksi terhadap universitas atau kampus yang membiarkan mahasiswanya
mengikuti aksi demonstrasi.
Pembungkaman kebebasan berpendapat tersebut juga di perlihatkan saat aparat
pemerintah menghapus simbol protes rakyat berbentuk mural yang dibuat oleh
sekumpulan seniman diberbagai daerah di Indonesia. Alih-alih mendengar dan
mengoreksi berbagai bentuk protes dan kritik rakyat, tindakan yang ditunjukan
oleh pemerintahan Jokowi justru lebih tepat pada tindakan otoritarianisme.
Sikap anti kritik pemerintahan Jokowi juga diperkuat dengan maraknya
praktik feodalisme yang muncul dari pendukung gerakan pro pemerintah. Dimana
dalam kenyataannya mereka seolah-olah telah menempatkan seorang pemimpin
sebagai raja, sakral, bahkan Tuhan. Seolah-olah Presiden tidak memiliki suatu
kesalahan dalam setiap kebijakannya. Mereka menamai dirinya sebagai Jokowisme.
Sebuah gerakan yang membela dengan segenap kekuatan untuk menyembunyikan
kegagalan-kegagalan pemerintahan saat ini. Mereka yang pro dengan pemerintahan
saat ini beramai-ramai mengecam siapa saja yang berani mengkritik pemerintah.
Mulai dari melaporkan satu-satu persatu kepada institusi kepolisian dengan
tuduhan penghinaan bahkan makar. Keberadaan aparat penegak hukum juga telah
mampu dikuasai sebagai alat dalam mengkriminalisasikan setiap warganya.
Kedua, negara demokrasi yang saat ini sedang kita rasakan,
nyatanya telah memiliki permasalahan yang cukup serius. Demokrasi yang dipegang
teguh ini telah dikuasai sepenuhnya dalam cengkraman oligarki. Oligarki telah
mampu menggerogoti setiap sendi kehidupan kita sebagai bangsa. Baik dalam
sektor ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Oligarki kekuasaan sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang
dijalankan oleh pemerintahan Indonesia saat ini. Demokrasi memiliki peranan
yang sangat penting bagi pemerataan kekuasaan dan ekonomi. Sedangkan oligarki
sebagaimana yang kita ketahui hanya fokus menguntungkan golongannya saja. Hal
ini telah dibuktikan dengan lahirnya beberapa regulasi atau aturan
perundang-undangan yang hanya mementingkan kelompok elit saja dibandingkan
dengan kepentingan orang banyak yaitu rakyat Indonesia.
Ketiga, lemahnya proses
penegakkan hukum di rezim Jokowi juga terus mengalami kemerosotan yang sangat
drastis. Banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum kita hari ini merupakan bukti gagalnya pemerintah terhadap
semangat reformasi hukum. Jokowi yang pernah mengatakan
bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum, hukum harus
dipatuhi oleh setiap masyarakat dan warga negara serta dapat ditegakkan
berdasarkan nilai-nilai keadilan. Namun, ungkapan Jokowi tersebut nyatanya tak
sejalan dengan perbuatan dan tindakan yang telah dilakukan oleh para penegak
hukum kita sebagai salah satu wujud contoh teladan hukum bagi masyarakat luas. Masyarakat
dibuat semakin tidak percaya dengan penegakan hukum di Indonesia akibat ulah
para oknum penegak hukum kita selama ini.
Sejalan
dengan cita-cita negara demokrasi dimana kepentingan rakyat merupakan daulat
utama. Sistem hukum di Indonesia menganut suatu konsep rule of law
dimana tujuannya untuk menciptakan setiap orang memiliki hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dihadapan hukum. Tidak
memandang siapapun orangnya, setiap orang memiliki hak hukum yang sama (equality
before the law). Namun dalam kenyataannya penegakan hukum di negara
Indonesia masih menjadi polemik dimana dalam penerapannya masih bisa
dikendalikan oleh para pemegang kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan atau
dekat dengan kekuasaan akan memiliki pengaruh yang luar biasa dimana dapat
mengendalikan hukum dengan sesuka hati. Namun bagi masyarakat bawah jika
terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum maka berpotensi mendapatkan
hukuman yang berat.
Keempat, melemahnya trias politika di rezim Jokowi telah diperlihatkan secara
gamblang dan nyata. Kemenangan Jokowi yang diusung oleh PDIP pada periode
keduanya juga menempatkan kemenangan juga bagi partai PDIP di legislatif. Kemudian
kehadiran Anwar Usman yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang saat
ini menjadi adik ipar Jokowi nampak telah mereduksi secara tajam alam demokrasi
bangsa selama ini.
Pemisahan tiga kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam
mewujudkan keseimbangan negara demokrasi telah kehilangan arahnya.
Akibatnya banyak peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dijalankan
pemerintahan saat ini lebih menguntungkan kaum-kaum kapitalisme dan oligarki. Prinsip
kebaikan bersama (common good) sebagaimana yang tercantum dalam
cita-cita negara demokrasi nyatanya telah menjadi kebaikan bagi
golongan-golongan atas saja sementara sangat jauh dari kehendak rakyat dan
menjadi bencana yang luar biasa bagi rakyat Indonesia.
Kelima, menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi saat ini
ia telah menunjukan ambisi-ambisi haus kekuasaannya dengan memperlihatkan
dinasti politik yang sangat tajam. Jokowi menjadi presiden pertama di Indonesia
yang menempatkan anak dan menantunya menjadi seorang walikota, dan anak yang
satunya menjadi ketua partai, dan adik ipar Jokowi yang menjabat sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi. Jokowi yang pernah mengatakan bahwa hingga saat ini
anak-anaknya tidak pernah tertarik dengan dunia politik namun kini justru telah
membangun kerajaan politik yang cukup luas.
Dan benar saja baru-baru ini kita sebagai rakyat Indonesia telah
menyaksikan peristiwa upaya pembegalan demokrasi yang terjadi di rezim ini.
Pertama dalam sejarah bangsa Indonesia, Anwar Usman yang merupakan adik ipar
Presiden Jokowi serta paman dari Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus diberhentikan secara
tidak hormat dari jabatannya tersebut. Pemberhentian secara tidak hormat
tersebut baru saja dibacakan dalam putusan sidang pelanggaran etik hakim
konstitusi yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada
Selasa 7 November 2023.
Sidang pelanggaran etik hakim konstitusi tersebut dipimpin oleh Prof Jimly
Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis dan Wahiduddin Adams serta Bintan R. Saragih
selaku majelis anggota telah memberikan putusan bahwa secara terbukti Anwar
Usman selaku Ketua Mahkamah Kontitusi telah melakukan pelanggaran berat
terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam
Sapta Karsa Hutama, prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip
kepantasan dan prinsip kesopanan. Dengan demikian, MKMK menjatuhkan sanksi
terhadap Paman Gibran tersebut dengan dijatuhi sanksi diberhentikan secara tidak
hormat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Sebelumnya, Anwar Usman yang telah menyidangkan permohonan uji materi pasal
169 huruf q undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU
Pemilu) tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden pada 16 Oktober
lalu. Permohonan tersebut diajukan oleh seorang anak muda bernama Almas
Tsaqibbirru yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta
(Unsa) yang mengaku sebagai pengagum Gibran. Majelis hakim konstitusi yang dipimpin
oleh Anwar Usman mengabulkan permohonan tersebut, dan benar saja selang sehari
setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut, Prabowo yang
didampingi oleh Gibran selaku ponakan Anwar Usman secara resmi mendaftarkan
diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pilpres 2024
mendatang.
Atas dikabulkannya permohonan uji materi tersebut alhasil mengundang
gejolak penolakan dan kemarahan publik atas pembegalan demokrasi hingga tidak
sedikit yang menganggap MK sebagai Mahkamah Keluarga. Alhasil puluhan laporan
yang diajukan dari berbagai pihakpun tidak dapat dihindari untuk melaporkan
Anwar Usman terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan
konflik kepentingan dalam menangani permohonan uji materi dalam perkara
nomor:90/PUU-XXO02023 tersebut.
Putusan yang ditetapkan MKMK kemarin mencopot Anwar Usman sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk menyelamatkan alam demokrasi bangsa yang
selama ini telah dibegal dan mengalami kemunduran secara drastis. Putusan MKMK
memberikan jawaban secara terang benderang bahwa rezim Jokowi selama 9 tahun
ini terbukti telah membawa arah sistem demokrasi bangsa semakin kehilangan
arahnya.
Melalui putusan MKMK yang dikomandoi oleh Prof Jimly Asshiddiqie sebagai
Ketua Majelis dalam persidangan tersebut telah berhasil mencegah terjadinya
pembegalan demokrasi yang semakin buruk. Meskipun secara hukum putusan MK
sebelumnya dinyatakan tetap sah dan mengingat mengingat putusan MK bersifat
final dan mengikat (final and binding) dan apa yang diputus oleh hakim
harus dianggap benar meskipun mengandung kesalahan. Namun dalam hal ini
setidaknya rakyat dapat menilai kebobrokan yang sangat luar biasa telah terjadi
di rezim Jokowi atas upaya pembegalan demokrasi dengan membudayakan politik dinasti,
kolusi dan nepotisme yang nampak secara nyata pada bangsa ini.
Menyelamatkan Demokrasi
Berbagai macam persoalan
demokrasi di atas tidak boleh didiamkan saja. Indonesia harus segera berbenah
menata tatanan demokrasi bangsa sebagaimana tujuan demokrasi itu sendiri ialah
untuk menciptakan kedaulatan rakyat yang lebih baik. Pemilihan calon Presiden
pada 2024 mendatang akan menjadi langkah awal masyarakat Indonesia dalam
menaruh harapan terhadap pemimpin terpilih untuk membawa arah demokrasi kita
menjadi lebih baik. Pemilu 2024 nanti harus menjadi garis perjuangan rakyat
dalam menentukan kemajuan bangsa yang demokratis.
Pemimpin bangsa selanjutnya harus memegang teguh nilai-nilai dan sistem
demokrasi yang sesungguhnya. Rakyat Indonesia tidak boleh lagi dibatasi dengan
latar belakang primordial. Karena setiap warga negara memiliki kesamaan
untuk menjadi pemilih dan berkumpul serta berserikat untuk menyampaikan
pendapat. Hal tersebut sejalan dengan pasal 28 E ayat (3) UUD yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Pemimpin Indonesia selanjutnya harus mampu memegang teguh
prinsip-prinsip tersebut. Rakyat tidak boleh lagi dibatasi kebebasan ekpresinya
untuk berpikir dan menyuarakan aspirasinya.
Keseimbangan pemisahan kekuasaan dalam trias politika dalam negara
demokrasi juga tidak boleh disepelekan. Bukan hanya eksekutif, legislatif,
yudikatif saja. Melainkan berbagai elemen penting lainnya yang berasal dari
rakyat juga harus dilibatkan terutama dalam membuat suatu aturan kebijakan. Dengan
demikian, demokrasi kita akan terfokuskan dengan bermuara pada kepentingan rakyat
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar pada sebuah sistem negara
demokratis.
Indonesia mendatang juga harus mampu terbebas dalam cengkraman politik
dinasti. Dalam negara demokrasi, politik dinasti dinilai sebagai pembegalan
atas demokrasi. Hal tersebut akan membuat sistem demokrasi bangsa selama ini
terus mengalami kemunduran yang sangat drastis. Pemerintah Indonesia harus
segera membuat aturan yang tegas mengenai larangan menjalankan dan keterlibatan
politik dinasti.
Jika dibiarkan maka perjuangan untuk menjaga semangat reformasi dahulu
hanya sebatas angan-angan belaka. Praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan
Nepotisme) di negeri ini akan terus bermunculan. Akibatnya banyak
kebijakan-kebijakan yang diambil kedepan oleh pemerintah mendatang sangat jauh
dari kehendak rakyat. Mereka hanya akan fokus terhadap kebijakan golongannya
saja. Hal tersebut sudah terbukti sekarang disisa jabatan Jokowi saat ini.
Tugas menyelamatkan demokrasi bukan hanya bagi penyelenggara negara yang dalam hal ini ialah pemerintah. Rakyat Indonesia juga sudah saatnya melek dan berjuang mempertahankan demokrasi ini untuk tidak kembali terperosok dalam jurang kemunduran. Demokrasi Indonesia sudah selayaknya kembali kepada rel yang sebagaimana mestinya ialah menciptakan kebebasan berpendapat, memberikan kesejahteraan rakyat, meciptakan penegakkan hukum yang adil, dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hidup Demokrasi.................!
~ Penulis : Teja Subakti (Ketua Trafalgar Law Office)