Ngajihukum.com - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengumumkan hasil putusan dari permohonan uji materi undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada 16 Oktober lalu. Adapun perkara yang diputus oleh MK tersebut ialah perkara dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang anak muda yakni Almas Tsaqibbirru yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa).
Alasan MK mengabulkan permohon uji materi tersebut karena pengaturan batas usia tidak sepenuhnya diatur dalam Konsitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya boleh menjadi calon presiden serta calon wakil presiden meskipun masih memiliki usia dibawah 40 tahun namun dengan syarat pernah menjadi kepala daerah.
Berbagai macam persepsi pun bermunculan atas respon putusan MK tersebut. Banyak sumber yang mengatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan pembegalan dari demokrasi. Pasalnya, permohonan uji materi yang diajukan tersebut menjelang pesta demokrasi pemilu 2024. Dan telah diputus tiga hari menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Salah satu Hakim MK yakni Arief Hidayat mengatakan bahwa terdapat ketidaklaziman dalam putusan tersebut. Karena proses penanganan perkara tersebut terkesan menunda jadwal persidangan yang lama. Meskipun tidak melanggar hukum acara dalam persidangan, namun hal inilah yang dapat berpotensi menunda keadilan bahkan bisa saja meniadakan keadilan itu sendiri.
Kemudian, Sadil Isra yang merupakan hakim MK juga turut memberikan dissenting opinion nya terhadap putusan tersebut. Ia menyatakan bahwa merasa aneh dan luar bisa serta telah jauh dari batas penalaran yang wajar atas putusan MK. Karena sebelumnya MK telah menolak beberapa permohonan uji materi dengan isi permohonan yang sama namun pada putusan ini MK justru mengabulkan permohonan tersebut.
Jika dilihat dari legal standing atas permohonan uji materi yang diajukan oleh Almas kemarin. Seharusnya MK dengan tegas menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh Almas tersebut. Almas mengaku bercita-cita ingin menjadi Presiden dan Wakil Presiden sekaligus pengagum dari seorang Gibran sebagai Walikota Solo. Namun dalam hal ini, Almas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai korelasi kerugian konstensional terkait cita-citanya tersebut dengan batas usia capres atau cawapres. Maka dengan demikian, MK seharusnya permohonan uji materi tersebut harus dinyatakan ditolak atau di NO. Mengingat permohonan yang diajukan oleh Almas juga tidak jelas (obscuur libel), kemudian MK juga tidak berwenang atas permohonan yang diajukan tersebut dan harus dikembalikan kepada pembuat undang-undang yakni DPR.
Putusan MK tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik di Indonesia. Pasalnya, ketua MK sendiri merupakan paman dari anak Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka yang digadang-gadang akan maju mendampingi Prabowo Subianto pada pemilu 2024 mendatang. Berbagai macam asumsi MK merupakan Mahkamah Keluarga pun tengah ramai menghiasi asumsi rakyat saat ini. Dan benar saja, Prabowo yang didampingi oleh beberapa partai koalisi Indonesia maju baru saja membuat deklarasi menyatakan bahwa ia telah memutuskan akan didampingi oleh saudara Gibran Rakabuming Raka pada pilpres 2024 mendatang dan akan mendaftarkan diri pada tanggal 25 Oktober 2023.
Kedatangan Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep yang merupakan anak jokowi pada kontensasi politik Indonesia bukan hal yang wajar. Belum lagi Bobby Nasution yang merupakan menantu Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Walikota Medan, dan Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan adik ipar Jokowi. Fenomena tersebut bukan hanya sebatas kontroversi dari politik bangsa saat ini, namun dinasti politik Jokowi telah dipertunjukkan secara nyata. Dengan demikian terbukti bahwa Jokowi telah berhasil menjalankan nepotisme nya dengan baik.
Di masa rezim Jokowi saat ini, terdapat beberapa ratusan proyek besar yang telah mengeluarkan anggaran cukup besar pula yakni hingga 5.700 triliun. Proyek-proyek tersebut hingga saat ini masih dalam proses pengerjaan, salah satu diantara proyek tersebut ialah proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Maka terjawab sudah ambisi cawe-cawe yang pernah dikatakan oleh seorang Jokowi bahwa pemimpin selanjutnya harus melanjutkan program-programnya.
Kemudian, ragam asumsi liar atas fenomena tersebut mulai banyak berseliweran. Banyak pihak yang memandang bahwa ambisi jokowi selanjutnya ialah menempatkan seorang Gibran untuk bisa menggantikan Prabowo sebagai presiden. Karena alasan kesehatan yang semakin memburuk, Prabowo bisa saja lengser sebelum masa jabatannya habis dan akan digantikan oleh seorang Gibran.
Fenomena tersebut tentu bukan hal yang mustahil. Pasalnya berbagai macam skenario Jokowi telah berhasil dijalankan. Salah satu diantaranya ialah dengan menempatkan keluarganya masuk di bursa politik Indonesia dan membuat putusan MK kemarin seakan-akan dapat dipesan sesuai dengan keinginannya. Jokowi yang pernah mengatakan pada 2019 lalu bahwa anak-anaknya tidak pernah tertarik untuk masuk ke politik dan lebih tertarik berwirausaha pun telah mengingkari ucapannya tersebut. Terbukti saat ini dinasti politik Jokowi telah berhasil menguasai negeri ini.
Politik dinasti dapat dimaknai sebagai sebuah ambisi kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga atau kerabat. Praktik seperti ini biasa dijalankan di berbagai negara yang masih menganut sistem monarki. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yang saat ini dijalankan dapat diwariskan kepada keluarganya.
Dalam negara demokrasi, politik dinasti dinilai sebagai pembegalan atas demokrasi. Hal tersebut akan membuat sistem demokrasi bangsa selama ini terus mengalami kemunduran yang sangat drastis. Meskipun demikian, di Indonesia sepertinya sangat sulit untuk menghilangkan kebiasaan politik dinasti tersebut. Mengingat, di Indonesia hingga saat ini belum diatur secara tegas mengenai norma hukum yang membatasi terbentuknya dinasti politik. Maka dengan begitu, fenomena politik dinasti akan terus bermunculan disetiap kontensasi politik apapun.
Pemilu yang selama ini menjadi agenda penting dalam negara demokrasi telah dikotori secara terus menerus oleh para aktor-aktor politikus busuk. Terbukti hal tersebut telah banyak dilakukan dengan terus meluasnya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan Nepotisme) di negeri ini. Kemudian, praktik money politic yang terus hadir di setiap agenda pemilu juga bukan hal yang baru. Kebiasaan tersebut masih merajalela menghiasi kancah politik bangsa. Akibatnya, banyak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah mendatang sangat jauh dari kehendak rakyat. Mereka hanya akan fokus terhadap kebijakan golongannya saja yang telah dipesan secara antri. Termasuk pada putusan MK kemarin, hal ini sebagai bukti bahwa di era rezim Jokowi mewujudkan demokrasi yang baik telah gagal.
Ambang kehancuran demokrasi semakin hari semakin kelihatan saja. Setidaknya terdapat beberapa bukti kegagalan Jokowi dalam mewujudkan negara demokratis. Selama pemerintahan Jokowi saat ini setiap pembuatan regulasi atau peraturan perundang-undangan terkesan dipaksakan. Rezim ini juga seakan-akan menutup partisipasi rakyat sebagai manifestasi daulat rakyat. Kemudian, sikap pemerintah Jokowi dalam menanggapi berbagai macam kritik rakyat juga terkesan bersifat otoritarianisme. Rezim ini telah membatasi representasi rakyat dengan menghiraukan berbagai macam protes dan aksi demontrasi serta mengkriminalisasikan satu persatu yang tidak sejalan dengan pemerintahan. Maka dapat disimpulkan bahwa negeri ini seakan-akan telah menjelma sebagai negeri yang mengerikan. Negeri yang diambang batas kehancurannya.
Penulis : Teja Subakti (Ketua Trafalgar Law Office)