Ngajihukum.com - Hubungan pacaran acapkali kebablasan hingga hamil. Lalu bagaimana di mata hukum atas kejadian itu?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca. Berikut pertanyaan lengkapnya:
Pacar saya berselingkuh dan dihamili kekasih selingkuhannya. Pacar saya pun sudah meminta pertanggungjawaban namun si selingkuhannya menolak mengakui bahwa itu adalah perbuatannya dengan dalih bahwa pacar saya sering bersetubuh dengan saya.
Di sini saya memang meng-iya-kan jika saya memang pernah bersetubuh dengan pacar saya, namun tidak sering karena saya dan pacar saya tinggal di provinsi yang berbeda. Saya tinggal di Depok, Jawa Barat dan pacar saya di Ambon, Maluku. Terakhir kami bersetubuh saat saya pergi ke Ambon tanggal 6 Agustus lalu dan kami memang bersetubuh. Waktu itu saya belum tahu kalau dia berzinah dengan orang lain.
Tanggal 8 Agustus pacar saya pun pergi pulang kampung selama sebulan dan pulang ke Ambon tanggal 30 Agustus dan mengatakan kalau dia hamil. Saya bahagia, senang dan bersedia bertanggungjawab. Akhirnya kami pun memeriksa kandungannya dan dokter mengatakan bahwa kandungannya telah berusia 5 minggu 6 hari.
Dan akhirnya pacar saya pun mengatakan hal yang sejujurnya kalau dia berzina dengan orang lain. Dia ingin mengaborsinya namun saya melarangnya karena dapat membahayakan dirinya.
Akhirnya pun dia meminta pertanggungjawaban dari selingkuhannya. Dan si selingkuhannya mengelak dan merasa ingin diperas serta saya di pukul olehnya.
Untuk masalah ini seperti ini apakah dapat diselesaikan dengan hukum? Untuk membela hak dan kewajiban dari pacar saya serta menghukum si selingkuhannya?
Mohon jawabannya
Terimakasih
Untuk menjawab pertanyaan pembaca di atas, berikut pendapat Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Elsy A. Joltuwu, S.H. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi. Berikut jawaban lengkapnya:
Pertama-tama kami sampaikan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan. Terkait permasalahan yang Saudara hadapi sebagai berikut:
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jika dua orang dewasa yang belum terikat perkawinan melakukan hubungan badan dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut.
Terkait bisakah hasil tes DNA digunakan untuk menjerat orang yang menghamili, kita merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menambah frasa dalam Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat membuat orang yang menghamili tidak dapat memungkiri bahwa dia memiliki hubungan darah dan hubungan keperdataan dengan anak yang dikandung.
Sedangkan terkait kekerasan yang dilakukan dapat dipidana berdasarkan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Selingkuhannya tersebut dapat di hukum dengan dasar Pasal 304 KUHP yang menyatakan:
"Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-"
Terkait masalah penganiayaan terhadap klien, jika klien hendak membawa kasus ini ke ranah hukum, maka klien dapat melaporkan pelaku ke pihak berwajib dengan membawa bukti-bukti dan saksi. Bukti tersebut berupa visum, yang membuktikan bahwa klien menjadi korban penganiayaan.
Selain itu klien dapat meminta orang yang melihat atau mendengar terjadinya penganiayaan tersebut sebagai saksi.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga membantu.
Elsy A. Joltuwu, S.H.