Ngajihukum.com - Beberapa hari ini, publik diramaikan oleh desakan masyarakat media sosial atau biasa kita kenal dengan sebutan netizen yang mengusulkan pemerintah untuk membubarkan DPR.
DPR belakangan ini memang sedikit lucu dan menjadi sorotan atas tingkah dan ucapanya yang dinilai arogan. Hal tersebut tentu tak sejalan dengan sebutannya sebagai seorang wakil rakyat.
Meski tidak semua anggota DPR demikian, namun akibat dari beberapa ulah yang dilakukan oleh oknum DPR saat ini tentunya dapat merepresentasikan wujud sesungguhnya dari seorang DPR tersebut.
Dimulai dari ucapan seorang anggota DPR PDIP yaitu Evita Nursanty dimana dalam sebuah agenda rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada Senin tanggal 27 Maret 2023 lalu, ia secara mengejutkan tidak dapat membedakan mana KRL dan mana Kereta Api. Menurutnya keberadaan KRL cuma hanya menimbulkan chaos disaat Lebaran.
Penafsiran tersebut tentu sangat keliru, mengingat keberadaan KRL tentu memudahkan transportasi jarak dekat bagi masyarakat sekitar.
Pasalnya, ia diduga salah mengidentifikasi antara KRL dan kereta api jarak jauh. Hal tersebut tentu mengundang gelak tawa bagi sebagian netizen yang mengetahuinya.
Kemudian publik kembali digegerkan dengan sikap dan pernyataan anggota DPR yang duduk di komisi III DPR RI yaitu Arteria Dahlan. Dalam agenda rapat bersama Menkopolhukam ia kini telah disorot oleh beberapa publik atas ucapannya yang dinilai arogan.
Ia menyebutkan bahwa Menkopolhukam yang saat ini dipegang oleh Mahfud MD dapat dipidana terkait ucapannya mengenai transaksi janggal di Kemenkeu. Atas ucapannya tersebut, publik pun merespon cepat kepada Arteria Dahlan yang dinilai tidak mendasar.
Dalam agenda rapat tersebut juga ia mengatakan bahwa pada dasarnya DPR itu mengetahui aib setiap anggota DPR lainnya, namun dalam hal ini ia memilih untuk diam. Sebab menurutnya hal tersebut tidak akan dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang selama ini terjadi pada bangsa ini.
Lebih lanjut Arteria Dahlan juga pernah menjadi sorotan atas beberapa tingkahnya yang dinilai arogan seperti pernah menyatakan bahwa Operasi Tangkap Tangan tak perlu dilakukan bagi aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa hingga hakim. Hal ini tentunya dinilai bahwa sistem penegakan hukum hanya berlaku bagi golongan masyarakat bawah dan terasa tumpul terhadap pemerintah dalam hal ini penegak hukum itu sendiri.
Kemudian, Arteria Dahlan kembali menjadi sorotan publik saat ucapannya dinilai kontroversi yang meminta Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kajati dicopot karena berbicara menggunakan bahasa Sunda saat mengadakan rapat. Hal ini tentunya memancing kemarahan bagi sebagian warga Sunda hingga memboikot Arteria Dahlan.
Kini publik kembali digemparkan oleh pernyataan salah satu anggota DPR RI yang kontroversi saat agenda rapat dengan Menkopolhukam pada Rabu (29-03-2023) lalu.
Dalam salah satu pembahasan agenda rapat tersebut Menkopolhukam yakni Mahfud MD menyampaikan permohonannya kepada Bambang Pacul selaku anggota DPR RI komisi III agar Undang-undang Perampasan Aset segera diwujudkan dalam rangka upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Permohonan yang diajukan Mahfud MD ini merupakan salah bentuk aspirasi masyarakat yang menilai bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dinilai masih kurang efisien.
Namun, respon seorang Bambang Pacul dinilai tidak sejalan dengan bagaimana fungsi sebagai wakil rakyat. Ia justru menanggapi permohonan yang diajukan oleh Menkopolhukam dapat dikabulkan atas persetujuan para ketua partai atau juragan di atas sana.
Secara fundamental, pernyataan tersebut setidaknya dapat disimpulkan oleh kita sebagai masyarakat bahwa sebagian besar keputusan anggota DPR bergantung pada modal dan elite partai politik bukan pada keinginan masyarakat itu sendiri.
DPR terpilih karena kehendak rakyat yang memilinya, bukan karena keinginannya sendiri. DPR hadir sebagai representasi suara rakyat, bukan suara pemerintah. Pernyataan seorang anggota DPR seperti Bambang Pacul dibatas setidaknya dapat digarisbawahi bahwa DPR kita selama ini hanya memiliki sikap opurtunisme dimana kehendak dan kepentingannya hanya untuk golongannya saja.
Seharusnya suara-suara yang dimunculkan DPR juga merupakan suara rakyat. Suara keluh kesah rakyat selama ini terhadap bangsa. Sehingga dari sini makna DPR sebagai wakil rakyat pantas untuk digenggam oleh DPR itu sendiri.
Akibat berbagai permasalahan yang timbul di DPR kita hari ini, kehormatan dan rasa percaya rakyat terhadap DPR menjadi turun dan sangat rendah. Hingga pada akhirnya muncul opini-opini liar seperti desakan netizen untuk membubarkan DPR.
Saya sebagai salah satu rakyat, sepertinya setuju dengan pendapat presiden pertama kita sang proklamator bung Karno serta presiden keempat kita Gus Dur yang sejak saat itu menjadi salah satu presiden yang berani mengusulkan untuk membubarkan DPR.
Tanpa kehadiran seorang DPR saya rasa rakyat tetap bisa hidup sebagai warga negara. Rakyat tetap akan patuh dibawah peraturan yang pegang oleh negara dan kepemimpinan sang presiden serta pemerintah lainnya.
Jangan menunggu keadaan semakin menjadi darurat, karena sikap dan perilaku DPR kita hari ini sudah sangat darurat. Sebab DPR kita hari ini sudah bukan menyuarakan kehendak rakyat, DPR kita hari ini hanya menyuarakan kehendak partai serta golongannya saja.
Sudah saatnya rakyat Indonesia membuat sikap tegas penolakan terhadap kehadiran DPR di negeri ini. Hal tersebut setidaknya dapat menjadi jalan untuk menyelamatkan bangsa ini dari rusaknya sistem demokrasi pada bangsa ini.
Salam kerakyatan, salam perubahan...!