Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) mencuat setelah “Citayam Fashion Week” jadi perbincangan. “Citayam Fashion Week” sendiri merujuk pada fenomena berkumpulnya remaja dari berbagai daerah, khususnya pinggiran Jakarta, yang adu gaya di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Belakangan, fenomena tersebut ramai diperbincangkan karena “diperebutkan” sejumlah pihak.
Tercatat, ada dua pihak yang mendaftarkan Citayam Fashion Week untuk jadi merek ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) milik Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pihak pertama yakni Tiger Wong Entertainment.
Perusahaan milik artis Baim Wong ini mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai merek melalui laman PDKI pada 20 Juli 2022. Sehari setelahnya, pihak bernama Indigo Aditya Nugroho juga mendaftarkan merek yang sama lewat laman PDKI. Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI?
Apa itu HAKI?
Mengutip laman resmi Kementerian Keuangan, Intellectual Property Rights atau di Indonesia dikenal dengan Hak Kekayaan Intelektual atau Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI) merupakan hak yang didapatkan seseorang atau badan hukum yang menghasilkan inovasi dalam berkreasi.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) mendefinisikan HAKI sebagai hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Objek yang diatur dalam HAKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia Pada intinya, HAKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Hak ini dilindungi oleh undang-undang. Oleh karenanya, setiap orang yang menggandakan atau menggunakan tanpa seizin pemiliknya akan dikenakan sanksi.
Sejarah perkembangan HAKI
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HAKI di Indonesia sudah ada sejak tahun 1840-an. Undang-undang (UU) pertama tentang perlindungan HAKI diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mencakup UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Setelah Indonesia merdeka, UU Merek dan UU Hak Cipta tetap berlaku, namun tidak termasuk UU Paten.
Dalam perkembangannya, pemerintah mengganti undang-undang tersebut. UU Nomor 21 Tahun 1961 ditetapkan untuk menggantikan UU Merek peninggalan kolonial Belanda. UU itu semula dimaksudkan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari barang-barang tiruan atau bajakan.
Sementara, UU Nomor 6 Tahun 1982 disahkan untuk menggantikan UU Hak Cipta. UU ini bertujuan mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta yang dapat menghancurkan kreativitas masyarakat. Adapun UU Hak Paten ditetapkan paling akhir yakni pada 13 Oktober 1989 dengan nama UU Nomor 6 Tahun 1989.
Perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan iklim yang lebih baik bagi kemajuan teknologi. UU ini juga bertujuan menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Setelah bertahun-tahun, ketiga UU mengalami beberapa kali revisi.
Kini berlaku UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sementara, UU Hak Paten kini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, setelah diubah dari UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten. Adapun UU Merek juga termaktub dalam UU Cipta Kerja, setelah diubah dari UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Merek Citayam Fashion Week
Berdasarkan penelusuran Kompas.com di laman Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI), PT Tiger Wong Entertainment milik Baim Bong mendaftarkan merek Citayam Fashion Week dengan nomor permohonan JID2022052181 pada Rabu (20/7/2022).
Dalam permohonannya disebutkan, merek Citayam Fashion Week merupakan jenis hiburan dalam sifat peragaan busana, layanan hiburan dengan menyediakan podcast di bidang mode dan layanan pelaporan berita di bidang fashion.
Merek ini juga menyediakan video daring yang tidak dapat diunduh di bidang mode, organisasi peragaan busana untuk tujuan hiburan, pelaksanaan pameran, peragaan busana, dan pameran kebudayaan untuk tujuan hiburan.
Sementara itu, pemohon bernama Indigo Aditya Nugroho mendaftarkan merek yang sama dengan nomor register JID2022052496 pada Kamis (21/7/2022). Dalan permohonannya disebutkan, merek ini berjenis ajang pemilihan kontes (hiburan), expo mengenai kesenian, kebudayaan, dan pendidikan, fashion show (hiburan), hiburan dalam sifat peragaan busana, jasa hiburan, yaitu menyediakan acara hiburan langsung.
Pihak Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pun telah angkat bicara terkait ini. Humas DJKI Irma Mariana menjelaskan, siapa pun diperkenankan untuk mendaftarkan sebuah merek ke Kemenkumham. Namun demikian, pihak-pihak itu bakal melewati sejumlah tahapan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
“Kami, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual itu tidak bisa menolak permohonan yang diajukan melalui sistem atau aplikasi yang saat ini sudah kami terima, jadi siapapun boleh, sah-sah saja mengajukan permohonan tersebut,” ujar Irma kepada Kompas.com, Minggu (24/7/2022).
Irma menerangkan, para pihak itu saat ini masih berstatus sebagai pendaftar merek Citayam Fashion Week dan belum tentu dikabulkan. “Mereka masih calon, baru mengajukan, mereka masih harus melewati tahapan dulu. Jadi siapa saja boleh mengajukan merek Citayam Fashion Week, boleh,” ucapnya. KOMPAS