Melihat fenomena yang terjadi saat ini, yaitu maraknya pernikahan beda agama di Indonesia. Maka menurut penulis perlu adanya kepastian hukum yang jelas.
Undang-Undang Perkawinan
Aturan yang tersedia ialah pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam pandangan di atas, laki-laki beragama Islam atau perempuan beragama katolik dapat melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan agamanya masing-masing.
Namun perkawinan beda agama tidak di atur secara tegas, padahal keadaan tersebut merupakan sebuah kenyataan yang ada di Indonesia.
Bahkan, dalam pandangan penulis pernikahan beda agama di Indonesia dapat dikatagorikan sebagai kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya, agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
Undang-undang pun tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama sehingga terjadi kekosongan hukum dalam kasus tersebut.
Undang-Undang Dasar 1945
Adapun Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing.
Masih dalam konstitusi, tepatnya pasal 28 (Hak Asasi Manusia) yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Problematika
Pernikahan beda agama ini haruslah dapat di terima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan anomali.
Akan tetapi, setiap pernikahan dalam masing-masing agama telah diatur, khususnya dalam agama Islam. Perkawinan beda agama dalam pandangan Islam ialah dilarang.
Hal ini diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 221, yang artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.”
Dengan alasan dikhawatirkan akan berdampak pada status anaknya, serta pada tujuan utama dalam sebuah perkawinan. Akan tetapi hukum positif belum mengatur secara tegas.
Solusi
Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) mengatur bahwa tentang nikah beda agama memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masing-masing agama terkait untuk menentukan ketentuan pernikahan masing-masing sesuai dengan ajaran dalam agama tersebut.
Adapun yurisprudensi Mahkamah Agung berdasarkan Putusan MA No. 1400 K/PDT/1986 menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama, dan dapat dicatatkan.
Sumber:https://pinterhukum.id/2022/02/pernikahan-beda-agama-di-indonesia/