Namun, sebagai seorang muslim, ketika ditimpa musibah, alangkah lebih baiknya disikapi dengan akhlak yang baik dan tetap menjaga prasangka kepada Allah Ta’alaa, karena perlu diketahui bahwa banyak sekali pahala yang bisa kita dapatkan jika kita mau bersabar atas ujian dari musibah itu sendiri. Tapi, sering terjadi pula ketika seseorang tertimpa suatu musibah, dia marah dan begitu emosi. Mengenai hal ini, bagaimana hukumnya dalam Islam?
Berikut ini penjelasan dari Ustadz Ammi Nur Baits. Beliau menyampaikan bahwa ketika ditimpa musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkat:
Tingkat pertama: Bersikap marah.
Sikap marah ini terbagi menjadi beberapa macam:
Pertama: Hatinya marah kepada Tuhannya dan mencela takdir Allah yang ditetapkan kepadanya. Tindakan semacam ini haram hukumnya dan kadang dapat menyebabkan kepada kekafiran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)
Kedua: Lisannya marah kepada Allah, sehingga dia mengumpat dan berkata cela tatkala berdoa dan sebagainya. Tindakan semacam ini juga haram hukumnya.
Ketiga: Marah dengan anggota badannya, seperti memuluk pipi, merobek pakaian, terlalu bersedih, dan sebagainya. Semua ini juga haram hukumnya karena bertentangan dengan kesabaran yang diwajibkan.
Tingkat kedua: Bersabar.
Seperti yang dikatakan penyair:
Sabar seperti namanya, pahit rasanya
Tetapi akibatnya lebih manis daripada madu
Kelihatannya, tindakan semacm ini berat dilaksanakan, tetapi akan menjadikannya tabah dan kelihatannya susah dilaksanakan tetapi keimanannnya akan menjaganya dari kemarahan. Bagi orang seperti ini, musibah terjadi atau tidak sama saja, karena menurutnya, semua itu telah ditakdirkan dan pasti akan terjadi. Maka dari itu Allah memerintahkan agar bersabar sehingga berfirman:
“Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Anfaal: 46)
Tingkat ketiga: Ridha.
Orang semacam ini ridha terhadap musibah yang menimpanya. Menurutnya, ada dan tidaknya musibah itu sama saja. Keberadaannya tidak menyebabkannya susah dan tidak memikulnya dengan berat. Tindakan semacam ini hukumnya sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih. Perbedaan antar tingkat ini dengan tingkat sebelumnya jelas; karena adanya musibah dan tidak adanya sama-sama ridha menurut tingkat ini, sedangkan pada tingkat sebelumnya, musibah itu sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.
Tingkat keempat: Bersyukur.
Bersyukur merupakan tingkat yang paling tinggi yaitu bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya, karena dia tahu bahwa musibah itu menjadi sebab penghapusan dosa dan sebab penambahan kebaikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada musibah yang menimpa seorang Muslim kecuali dengan-Nya Allah menghapus dosanya, walaupun hanya tertusuk duri.” (Muttafaq’Alaih)
Wallahu a’lam bish shawab.