Ghibah merupakan suatu kebiasaan yang sudah umum di masyarakat terutama bagi kaum perempuan. Hibah ini sering dimulai oleh seseorang yang memang suka mencari keburukan orang lain dan mengajak yang lain untuk membicarakannya, meskipun terdapat seseorang yang tidak mau melakukan ghibah, namun orang tersebut hanya mendengarkan pembicaraan tentang ghibah tersebut, lantas bagaimana hukum orang yang hanya mendengarkan ghibah? Berikut simak ulasannya.
Telah dijelaskan dalam suatu ayat bahwa janganlah dengan mudah seseorang mengikuti suatu hal yang buruk, karena segala sesuatu itu pasti dipertanggungjawabkan nantinya, sekecil apapun itu perbuatan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban)” (QS. Al-Isra’: 36)
Dalam ayat lain juga disebutkan tentang larangan ghibah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauilah kebanyakan prasangaka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentula kamu merasa jijik kepadanya.” Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalam suatu ayat lain juga dijelaskan bahwasanya:
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. (QS. Al-Mu’minun :3)
Dalam hadits juga dijelaskan yaitu dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat” (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali “Shohih atau hasan”
Telah dijelaskan bahwa orang yang telah ghibah haruslah mendatangi orang yang ia ghibahi untuk meminta maaf atas perbuatannya, berkiatan dengan hal tersebut, Syaikh Utsaimin berkata: “…Ghibah yaitu engkau membicarakannya dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkannya di hadapan manusia sedangkan dia tidak ada. Untuk masalah (bertaubat dari ghibah) ini para ulama berselisih. Di antara ulama ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang kepadanya (yang dighibahi) lalu berkata kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan-mu di hadapan orang lain, maka aku mengharapkan-mu memaafkan-ku dan merelakan (perbuatan)ku”.
Dan segala sesuatu yang kita lakukan pasti Allah mengetahuinya, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS.Qaf : 18)
Disebutkan pula bahwa ghibah merupakan perihal yang sangat amat buruk, dari Imam Nawawi berkata:
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)
Maka daripadanya amar makruf nahi munkar haruslah mampu dilakukan oleh setiap muslim, Allah Subhanahu wata’ala berfirman bahwasnya:
“Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat manusia yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dengan demikian, meskipun hanya mendengarkan ghibah maka perbuatan dilarang tetaplah dilarang dan berdosa. Setiap perbuatan pasti terdapat tanggung jawab yang dibebankan. Dan sungguh sekecil apapun kebaikan atau keburukan, maka Allah akan memperhitungkannya.
Wallahu A’lam Bisshawab